Oleh: Dani Makhyar, M.
Pd.
Sepuluh
hari sudah berlalu. Namun, resume Pembelajaran “Menulis Online Bersama
Om Jay” pertemuan ketiga yang diselenggarakan pada 5 Juni lalu bersama Ibu
Kanjeng belum juga tuntas. Kebelumtuntasan saya menuliskan resume tentunya dengan
berbagai alasan, salah satunya adalah faktor kesibukan. Klasik memang karena
sesungguhnya setiap orang pasti punya kesibukan. Hmmm… kalau begitu, dengan
sendirinya alasan kesibukan jadi terbantahkan, bukan? Hehe…exactly! Tinggal
bagaimana pintar-pintarnya kita menyiasatinya saja. Dengan kata lain, faktor utama
yang bisa mengentaskan segala excuse seperti itu dikembalikan kepada
diri kita sendiri. Ya, makhluk itu bernama motivasi.
Seperti
pada malam itu, dengan besusah-payah saya pun menghadirkan motivasi yang kuat. Saya
sudah standby di depan HP untuk menyimak materi yang akan disampaikan. Mengagumkan.
Itulah satu kata yang saya sematkan untuk pemateri yang luar biasa malam itu,
yaitu Ibu Sri Sugiastuti atau yang dikenal dengan sebutan Ibu Kanjeng. Penyampaian
materi oleh beliau tentang “Berbagi Pengalaman Menerbitkan Buku” diawali dengan
penjelasan panjang lebar melalui voice note, kemudian dilanjutkan dengan
sesi tanya jawab secara tertulis di grup WA. Maka, beruntunlah puluhan
pertanyaan dari peserta ditujukan kepada beliau. Pertanyaan demi pertanyaan
mengalir terus seakan tiada henti. Namun, semua pertanyaan yang nyaris membuat
kewalahan Bu Fatimah yang kala itu
menjadi moderator, dibabat habis oleh Bu Kanjeng dengan jawaban yang
mudah dipahami.
Menurut
wanita hebat kelahiran 8 April 1961 ini, beliau sebetulnya merasa terlambat
belajar menulis. Karier menulisnya dimulai ketika usianya menjelang setengah
abad. Usia yang bisa dikatakan tidak muda lagi. Akan tetapi, semangatnya yang
luar biasa mengantarkannya menjadi seorang penulis yang sangat produktif.
Menurut
Ibu Kanjeng, tahun 2010 dianggap sebagai tahun keberuntungannya. Pada tahun
tersebut, dua buku karyanya yang berjudul SPM Ujian Nasional Bahasa Inggris
untuk SMK dan buku antologi Diary Ketika Buah Hati Sakit diterbitkan
Penerbit Erlangga. Selain itu, dalam rangka hari Kartini, diterbitkan pula buku
keroyokan kompasianer tahun 2014 yang berjudul 25 Kompasianers Merawat
Indonesia. Pada tahun yang sama, sebuah penerbit indie, Peniti Media, menerbitkan karyanya
berjudul Indonesia Satu serta beberapa buku antologi seperti Muara
Kasih Ibu, Go to 2020, dan Move
on.
Tak
hanya sampai di situ, pada tahun 2013, tiga buah bukunya berhasil diterbitkan. Sebuah
buku parenting berjudul Seni Mendidik Anak Sesuai Tuntunan Islami diterbitkan
Penerbit Mitra Widyawacana, Jakarta. Lalu, sebuah novel hidayah berjudul Kugelar
Sajadah Cinta diterbitkan penerbit indie Bentang Pustaka, Sidoarjo
dan novel Deburan Ombak Waktu diterbitkan penerbit indie Goresan Pena, Cirebon.
Dua
tahun kemudian, buku PM Ujian Nasional Bahasa Inggris untuk SMK edisi
baru diterbitkan kembali oleh Penerbit Erlangga. Pada tahun berikutnya buku The
Stories Cakes For Beloved Moms diterbitkan oleh penerbit indie Oksana.
Bahkan, pada tahun 2017 karya-karya beliau membanjir laksana air bah, seperti
buku The Stories of Wonder Women yang diterbitkan Penerbit Media Guru. Wow
English is So Easy Kids, novel Tipuan Asmara, novel Perempuan
Terbungkas, buku motivasi Catatan Religi Bu Kanjeng, dan tiga buku parenting
yaitu Merawat Harapan, The Power of Mother’s Prayer, serta Masuk
Surga Karena Anak. Luar biasa bukan?
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa Ibu Kanjeng berproses menjadi seorang penulis itu
pada saat usia hampir mendekati usia lima puluh tahun. Akan tetapi, dengan berbekal
pedoman better late than never, beliau terus berusaha dan belajar hingga
akhirnya beliau katagihan untuk bisa menulis buku dan terus meng-upgrade
diri agar bisa “naik kelas”.
Pada
tahun 2007, pada saat beliau jeda setelah 25 tahun, akhirnya beliau baru bisa
mengambil kuliah S2. Pada saat itulah beliau harus berkenalan dengan internet, harus
berkenalan dengan medsos, harus banyak ke perpustakaan ataupun ke toko buku.
Sampai pada akhirnya beliau menemukan sebuah buku karangan R. Sis yang biasa
dipanggil Kang Iwa. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa menulis itu gampang. Dari
buku itulah beliau termotivasi dan meyakini bahwa dirinya harus bisa menulis.
Setelah
itu, pada tahun 2009, ketika mengikuti rapat di MGMP Bahasa Inggris, beliau diajak
seorang temannya untuk menulis buku ajar. Kebetulan saat itu yang membutuhkan para
penulis buku adalah Penerbit Erlangga. Karena diajak teman, dengan PD-nya
beliau mengatakan kesiapannya. Akhirnya mereka pun menyusun buku Seri Pendalaman
Materi Ujian Nasional Bahasa Inggris untuk SMK. Proses membuat buku ajar
itu cukup lama, kurang lebih selama enam bulan. Setelah direvisi, akhirnya pada
bulan Oktober 2010 buku itu terbit. Walaupun disusun oleh dua orang penulis, penyusunan
buku tersebut melibatkan satu orang dari pihak Erlangga sebagai penasihat atau
providernya, yakni Bu Eli Sofa. Jadi, satu buku terdiri atas tiga orang tim
penyusun.
Dari
buku itulah beliau mulai merasakan suatu keuntungan dalam bentuk kepuasan
karena buku itu tingkat nasional dan dipakai untuk siswa SMK khususnya kelas XII.
Selain itu, beliau pun menikmati royalti yang setiap semester pasti mengalir ke
dalam buku rekeningnya. Wow, asyik bukan?
Buku
itu dapat dikatakan laris manis karena pada tahun 2015 ada edisi revisinya. Bahkan,
penulisnya ditambah lagi satu orang. Kebetulan buku karya beliau tersebut termasuk
buku yang harus dibeli oleh siswa, masuk dalam bidang pengadaan. Jadi, buku
tersebut digunakan hampir di seluruh Indonesia. Karena sekupnya tingkat
nasional, omset penjualannya pun laris manis sehingga hal itu mengimbas juga kepada
penulisnya. Nah, di saat itulah beliau dibuat tercengang sekaligus bersyukur
karena pundi-pundi yang masuk ke nomor rekeningnya sangat besar, hampir lebih dari
uang sertifikasi. Beliau pun memanfaatkan uang tersebut untuk belajar dan belajar
lagi.
Itulah
pengalaman beliau ketika menerbitkan buku di penerbit mayor. Penerbitnya memang
cukup representatif, yaitu Penerbit Erlangga. Untuk bisa menembus ke sana, tentu
bukanlah hal yang mudah. Beliau menganggap hal tersebut bukan sebagai faktor kebetulan,
melainkan sebagai cara Allah menemukan takdir dari tulisan-tulisan yang sudah ditorehkan
beliau.
Nah,
paparan beliau selanjutnya adalah seputar pengalaman beliau menggunakan nama
pena Astutiana Mujono. Nama itu terinspirasi saat beliau mengisi blog yang
lumayan keren yaitu Kompasiana, atau seperti Indosiana yang menggunakan “ana”
pada akhir suku katanya sehingga nama Astuti pun diubah menjadi Astutiana. Namanya
juga penulis pemula, di situ beliau menulis apa yang ada di hati dan dipikiran sampai
setebal 418 halaman. Buku itu berkisah dimulai dari kisah ibunya saat remaja bertemu
ayah dulu, hingga kisah Ibu Kanjeng sampai mentok berusia 50 tahun.
Setelah
itu, beliau sering ikut menulis berbagai buku antologi, baik yang diajak oleh teman-temannya
yang cinta literasi, ada yang dari kompasiana, ada yang dari emak-emak bloger, maupun
dari komunitas-komunitas lain dengan berbagai tema. Jadi, kalau dihitung-hitung,
ada sekitar 25 buku antologi. Jumlah yang sangat fantastis!
Menurut
Ibu Kanjeng, dengan kita ikut menulis di buku antologi itu, kita belajar
berbagai macam jenis tulisan dari teman-teman
kita. Kita juga akhirnya memiki ciri kepenulisan sendiri. Dalam proses belajar menulis
sekaligus menerbitkannya sendiri, itu memang gurih-gurih sedap. Beliau bisa bertemu
Om Jay pada tahun 2013. Waktu itu beliau sudah menerbitkan tiga buah buku,
yaitu sebuah buku ajar, sebuah buku parenting, dan sebuah novel Kugelar Sajadah
Cinta.
Dalam
novel tersebut dikisahkan mulai ibunya remaja hingga Ibu Kanjeng berusia 50
tahun, selasai kuliah S2, termasuk juga kisah
pada tahun 2006 yang mendapat kemudahan untuk melaksanakan ibadah haji, Jadi, kiah-kisah
tersebut sudah dirangkum menjadi biografi mini beliau. Buku tersebut dijadikan buku
pedoman atau pusat ide beliau. Jadi, kalau beliau ingin menulis tentang apa pun,
idenya dari situ kemudian bisa beliau kembangkan.
Buku
berikutnya adalah buku parenting Seni Mendidik Anak secara Islami. Buku tersebut
diterbitkan penerbit semimayor. Artinya, ketika buku itu diterbitkan, beliau
tidak mengeluarkan uang. Namun, beliau diberi 100 buku untuk dijual dengan
diskon 40%. Alhamdulillah ke-100 buku itu dapat dijual semua. Lalu, pada tahun
2017, ketika ditanyakan kepada penerbitnya perihal bukunya itu, alhamdulillah, beliau
masih mendapat sedikit royalti dari penjualan buku tersebut.
Selanjutnya
proses beliau menulis buku/belajar. Beliau
termasuk orang yang sangat getol atau suka silaturahmi dan ikut belajar, jadi
rasa ingin tahunya sangat besar. Waktu orang ramai-ramai ribut ngeblog dapat uang,
punya web dapat uang, beliau pun ikut belajar. Sampai-sampai beliau memanggil
mentor untuk mengajari beliau dengan biaya yang cukup mahal, tidak seperti saat
ini yang semua digelar secara gratis, dan itu juga hasilnya hanya pengalaman
saja karena tidak bisa maskimal.
Dengan
adanya berbagai macam dunia kepenulisan, beliau semakin lama semakin tertarik. Seperti
Media Guru beberapa kali mengadakan pelatihan dan beliau dengan gembiranya
mengikti kegiatan itu. Kemudian kegiatan-kegiatan lain, baik diklat yang
diadakan daring maupun luring, beliau pasti ikut. Selain beliau gunakan sebagai
ajang silaturahmi, di situ beliau semakin banyak mengenal berbagai teman yang
berprofesi sama sebagai penulis. Pepatah mengatakan kalau ingin jadi penulis, harus
bergaul dengan penulis. Kalau mau harum wanginya, dekat-dekatlah dengan penjual
parfum. Kalau berteman dengan pandai besi, aromnya adalah aroma besi. Maka, seiring
dengan berjalannya waktu, beliau pun akhirnya naik kelas, sering diajak untuk mengisi,
untuk berbagi, kadang juga mengisi acara bedah buku.
Ada
salah sastu buku beliau walaupun dicetak indie tetapi lebih dari 1.00 ekslempar.
Judul buku tersebut adalah The Stories of Wonder Woman. Buku tersebut
lebih kepada kisah motivasi bagaimana perempuan tangguh berusaha untuk menggapai
ridho Alloh. Buku itu ditulis cukup lama, kurang lebih sekitar delapan bulan. Karena
diambil dari true story, jadi bentuknya lebih ke faksi, yaitu fakta tetapi
fiksi. Nama tokoh dalam buku tersebut sudah diganti dengan nama samaran. Adapun
tujuan beliau menuliskan kisah tentang kehidupan perempuan tangguh itu paling
tidak bisa memotivasi perempuan-perempuan lain bagaimana agar tetap bersemangat,
tidak putus asa, selalu bersabar, bersyukur, dan ikhlas ketika menghadapi
cobaan.
Sebelum
pertemuan ketiga perkuliahan online ini diakhiri, Bu Kanjeng
menyampaikan beberapa pesan penting antara lain sebagai berikut. Menulis itu
keterampilan, bukan bakat. Jadi, berlatihlah dan tulislah berbagai ide yang terserak
di sekitar kita. Jadikan menulis dan membaca
sebagai gaya hidup. Tentu saja membaca yang selektif dengan kacamata yang utuh.
Istikamahlah dalam menulis dan biarkan tulisan itu menemui takdirnya. Jangan
risaukan, tetaplah menulis dan belajar meng-upgrade diri agar naik kelas.
Menulislah apa yang disukai dan dikuasai….
Wow,
paparan luar biasa dan sangat mengagumkan, bukan? Tak terasa hari terus berlalu.
Hingga pada akhirnya aku pun baru bisa mengirimkan resume ini via email beliau tepat
pukul 00.01 WIB. Telat dua menit dari dead line batas pengiriman resume
yang sudah disepakati. Hmm…telat ya? Yups, better late than never hehe….