We Are Creative Design Agency

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Illum, fuga, consectetur sequi consequuntur nisi placeat ullam maiores perferendis. Quod, nihil reiciendis saepe optio libero minus et beatae ipsam reprehenderit sequi.

Find Out More Purchase Theme

Our Services

Lovely Design

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Great Concept

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Development

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

User Friendly

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Recent Work

Sabtu, 25 Juli 2020

RUANG A 39

RUANG A 39

Oleh: Dani Makhyar

"Gimana Mah, jadi kita ke Sumedang?" tanya suamiku.
"Hmm ... gimana ya? Mamah agak males Yah," jawabku ogah-ogahan.
"Kalo menurut Ayah sih sebaiknya kita pergi saja biar semuanya jadi jelas," timpal suamiku. Ia yang bertanya, tetapi ia sendiri yang menjawab. Ya, aku sedikit trauma kalau aku harus mengunjungi Kang Erwin di Sumedang. Perkataannya pedas dan bikin nyelekit.
"Makanya, Akang bilang apa. Kalo nyari suami tuh pilih yang masa depannya jelas. Yah, kira-kira kayak Akang beginilah. Jadi pengusaha. Jangan sama guru macam dia," kata Kang Erwin dengan angkuh saat kusampaikan niat Bang Indra akan menikahiku. Ah, kejadiannya sudah sangat lama, tetapi masih tergores di hati ini hingga kini. Bahkan, belum lama ini juga saat aku mau pinjam uang untuk biaya kuliah si sulung, Raihan, Kang Erwin bukannya memberikan pinjaman. Eh, dia malah mengata-ngatai suamiku dengan kata-kata yang membuat telingaku jadi panas luar biasa.
"Emang suamimu bertahun-tahun ngajar apa ga bisa ngumpulin uang buat biaya anaknya kuliah? Kalopun ada uang, ga bisa aku pinjemin buat kamu karena aku masih butuh buat nambah modal usahaku," ceramah Kang Erwin panjang lebar cukup menyebalkan. Aku pun pulang dengan tangan hampa.
"Sudahlah Mah, kita cari cara lain saja," hibur suamiku saat itu.
"Baiklah Yah," jawabku sedikit lega. Hingga akhirnya kujual beberapa perhiasan simpananku sebagai solusi biaya kuliah anakku. Tadinya sih, kuberanikan pinjam uang ke Kang Erwin karena punya jaminan dua bulan lagi aku akan mendapat arisan. Tapi, sudahlah. Sepertinya menjual perhisanku merupakan solusi terbaik kami saat itu.
"Gimana Mah? Ditanya kok malah bengong," tanya suamiku.
Aku tersentak kaget, "Oh iya Yah, iya," jawabku gelagapan.
"Apanya yang iya?" canda suamiku sambil tersenyum.
"Ih, Ayah menggodaku ya?" pura-pura kucubit pinggang suamiku. Ia pun berteriak-teriak kecil seolah-olah menahan sakit dengan mimik yang lucu.
***
Hari masih gelap. Si sulung masih terlelap, begitu pula kedua adiknya. Setelah menjemput adikku, Amir yang tinggal di Bandung, aku dan suamiku segera melesat membelah kabut menuju menuju Sumedang menemui Kang Erwin. Kami janjian bertemu untuk membicarakan masalah harta warisan keluarga. Sebetulnya aku sendiri tidak terlalu ngotot ingin mendapatkan warisan tersebut. Terlebih suamiku. Mas Indra mengatakan bahwa kami sudah merasa cukup dan bersyukur dengan kondisi yang kami miliki saat ini. Sederhananya, dapat warisan syukur, tidak dapat juga tidak apa-apa. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, biaya dll. kami lakukan semata-mata demi membantu Amir untuk mendapatkan haknya. Kupikir meskipun aku berhak untuk mendapatkan harta warisan kedua orang tuaku, toh Amir lebih membutuhkannya. Lagi pula, kalau semua harta warisan kedua orang tua kami yang berupa tanah itu seluruhnya hanya dimiliki Kang Erwin seorang, itu namanya tidak adil. Ada aku, dan ada Amir. Ya, yang kuperjuangkan saat ini adalah demi tegaknya keadilan. Ehm.
Setibanya di Sumedang.
"Jadi, kami bertiga ke sini memang sengaja," belum sempat kutuntaskan ucapanku, Kang Erwin sudah memotongnya dengan nada tinggi.
"Akang sudah tahu maksud kalian ke sini untuk apa. Sementara ini, uang hasil penjualan tanah warisan mau aku jadikan modal dulu. Jadi belum bisa aku serahkan kepada kalian sekarang," kata Kang Erwin memutuskan sepihak.
"Tapi Kang," sergahku.
"Sudahlah! Aku masih banyak urusan. Nanti bulan depan aku kabari kalau untungnya sudah balik modal," suara Kang Erwin makin meninggi sambil pergi meninggalkan kami, sementara Amir tak berkata sepatah kata pun. Aku kecewa, Amir pun demikian. Tampak dari mimik Amir dipendamnya rasa kecewa itu dalam-dalam. Kami pun pulang dengan tangan hampa.
"Kita tunggu saja ya Mir. Biarkan Kang Erwin bisa membuktikan kata-katanya. Akan tetap Teteh perjuangkan supaya hak Amir bisa didapatkan," kuhibur Amir agar rasa kecewanya sedikit terobati.
"Ada hak Teteh juga kan?" tanyanya singkat. Aku hanya tersenyum mengangguk, tanda mengiyakan.
***
Sebulan berlalu. Tiga bulan tanpa kabar. Enam bulan sepi. Ah, janji Kang Erwin seperti tertiup angin. Kocoba hubungi Kang Erwin via telepon, tetapi tak diangkat-angkat. Kukirim pesan via whatsapp hanya di-read, tak dibalas.
Tak kuduga malah kudapatkan kabar Amir sudah seminggu dirawat di rumah sakit. Aku belum sempat menengoknya karena kesibukanku, juga kesibukan suamiku. Maklum jarak kami Sukabumi-Bandung, bukan jarak yang dekat.
"Maafkan Amir ya Teh..." katanya lemah. Kutatap wajah pucat adikku satu-satunya. Lalu...
“Innalillahi wa inna ilaihi rujiuun..." bisikku lirih. Kusapu air mataku. Kupeluk istrinya, untuk saling menguatkan dan mengikhlaskan kepergian Amir. Ah Amir, secepat itu kau pergi meninggalkan kami.
Dua hari aku menginap di rumah almarhum adikku. Selama itu pula kuhubungi Kang Erwin. HP-nya tidak aktif dan pesan WA-ku hanya centang satu. Akhirnya kuputuskan untuk segera meluncur ke Sumedang menuju rumah Kang Erwin.
***
Aku terpaku, rumah mentereng dua lantai milik Kang Erwin nyaris rata dengan tanah. Yang ada tinggal puing-puing hitam. Dari kejauhan tergopoh-gopoh seorang perempuan menghampiriku. Ia memelukku dan menangis sesunggukan. Ya, Ceu Erna, istri Kang Erwin menangis di pelukanku hingga bahunya terguncang-guncang. Setelah tangisnya mulai mereda, kutatap wajah Ceu Erna..
"Ada apa Ceu?" tanyaku penasaran.
"Semuanya hilang, semuanya musnah," jawab Ceu Erna agak terbata. Ia pun menceritakan semuanya. Setelah menjual tanah warisan itu, rupanya banyak musibah beruntun yang menimpa Kang erwin. Ia ditipu rekan bisnisnya. Kendaraan angkutan barang miliknya tabrakan. Mobil pribadi kang Erwin yang dipinjam temannya hingga kini belum kembali. Yang terakhir musibah kebakaran rumah karena konsleting arus listrik. Semuanya terjadi dalam sekejap mata. Kang Erwin depresi berat hingga akhirnya menghilang entah ke mana. Menurut cerita Ceu Erna, pernah dapat kabar dari tetangga bahwa Kang Erwin sempat terlihat di sekitar Pasar Ujung Berung, Bandung. Aku menarik napas panjang dan beristigfar berkali-kali. Setelah kehilangan Arif, adikku, kini aku kehilangan kakakku, Kang Erwin.
"Ya Allah, ampuni dosa-dosa hamba-Mu ini dan jadikanlah pengorbananku untuk saudaraku ini tidak sia-sia," doaku lirih.
***
Berbekal informasi dari tetangga Ceu Erna, bersama suamiku dan istri almarhum Amir, kutelusuri kawasan Ujung Berung dan sekitarnya. Pasar, terminal, pinggiran toko, rumah-rumah kosong, bahkan tempat sampah. Kucari Kang Erwin tak mengenal waktu. Entah dini hari, saat terik matahari, bahkan saat hujan deras sekalipun. Pengorbanan dan usahaku tak sia-sia hingga kutemukan sosok laki-laki berperawakan agak tinggi dan berambut ikal sedang berjalan membawa karung lusuh di pundaknya. Ia tampak kumal, compang-camping dan sangat tidak terawat. Ya, aku kenal lelaki itu. Tak salah lagi, dia Kang Erwin. Kuhampiri dan kusapa dia,  "Kang Erwin," sapaku lembut.
Ia menatapku. Akan tetapi, di luar dugaan tiba-tiba ia berlari menjauh dariku seakan tidak ingin berjumpa denganku. Kupanggil-panggil dan kukejar Kang Erwin, tetapi dia tidak menghiraukanku. Apa daya Kang Erwin berlari jauh lebih cepat dariku hingga aku kehilangan jejaknya di kegelapan malam. Ya, aku kehilangan jejak Kang Erwin untuk yang ke sekian kalinya. Antara kesal dan sedih, masih kusempatkan memanjatkan doa untuk Kang Erwin, semoga dia baik-baik saja.
***
Tililit ... tililit ..., notification WhatsApp-ku berbunyi. Tampak sederet pesan untukku, tetapi nomornya sama sekali tidak kukenal.
"Bu Tita, perkenalkan sy Hasan. Sy pernah mbaca selebaran ttg org hilang di kawasan Ujung Berung. Kebetulan sy berpapasan dg sosok org yg hampir sm dg foto yg terpampang pd pamflet. Atas kerja sm & saran bbrp warga beserta aparat setempat, kami berinisiatif mengirim org yg mirip dg orang yang ibu cari ke RSJ Bandung. Untuk info lebih lanjut, ibu bisa hub no 0224205XXX. Trm kasih."

Tanpa ba-bi-bu, segera kuminta suamiku mengantakanku ke RSJ yang dimaksud. Setelah memarkirkan mobil, kami bergegas menuju customer service untuk mendapat penjelasan seperlunya. Kami telusuri koridor panjang di rumah sakit jiwa ini. Kudengar suara seperti orang yang sedang berorasi politik. Ada pula yang berteriak-teriak memanggil nama seseorang. Ada sepi, ada juga senandung orang bernyanyi. Akhirnya tiba juga kami ruangan yang dicari.
"Ya Allah," desisku lirih. Suamiku menggenggam erat tanganku. Kerongkonganku tercekat dan terasa sakit. Kusaksikan sosok seseorang yang sangat kukenal. Seorang lelaki  berambut ikal yang sebagiannya beruban itu sedang duduk sendiri di pojok ruangan dengan tatapan kosong. Sesekali ia tersenyum sendiri. Lalu, ia terdiam. Sesaat kemudian, ia tersenyum lagi. Terdiam lagi. Begitulah silih berganti. Aku mendekatinya. Akan tetapi, aku dibuatnya terperanjat kaget karena tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Tak berapa lama kemudian ia pun menangis terisak perih.
Ah, pemandangan yang memilukan. Kutatap wajah Kang Erwin, tetapi ia seakan tak peduli akan kehadiranku. Hampir lima belas menit berlalu. Akan tetapi, aku hanya bisa berdiri mematung. Diam-diam kupanjatkan doa untuk kesembuhan Kang Erwin, kakak laki-lakiku. Tak kuasa, air mataku membanjiri kedua pipiku.
"Sebaiknya kita pulang Mah!" ajak suamiku lembut. Aku pun mengangguk meninggalkan ruangan itu: Ruang A 39.

Minggu, 12 Juli 2020

IZINKAN AKU KEMBALI

IZINKAN AKU KEMBALI


Oleh : Dani Makhyar

 Sepasang mata itu menatapku tajam. Aku berada pada posisi lemah saat ini. Ya, seperti seorang terdakwa yang siap dijatuhi hukuman apa pun oleh sang hakim.
Aku hanya bertanya, Mas selama ini ngapain saja? ujarnya menukik pada ulu hatiku.
Aku.... Aku.... Lidahku tiba-tiba terasa kelu, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Baiklah, maunya Mas sekarang bagaimana? tanyanya lagi.
Aku terdiam dan tertunduk. Aku tak kuasa menatap sorot matanya. Kucoba merangkai kata untuk menjawabnya, tetapi masih terasa berat.
Mas Rama... kok malah membisu? tanya wanita itu lagi.
Aku tersentak sedikit kaget. Kukumpulkan kembali kesadaranku.
Aku... ingin kembali seperti dulu, Sinta jawabku.
Entah menemukan dari mana tiba-tiba aku mampu melontarkan kata-kata seperti itu.
O, ya? Setelah kau tega melukai aku dan berpaling pada wanita itu? ujarnya dengan suara agak parau. Kulihat genangan air di kedua kelopak matanya siap berjatuhan.
Maafkan aku! Aku menyesal. Aku mohon padamu Sinta, izinkan aku kembali memperbaiki diri!
“Silakan Mas memperbaiki diri, Tapi maafkan aku Mas! Sekarang sudah malam, aku mau beristirahat, jawabnya menyisakan ambigu.
Sambil terisak, Sinta masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Sementara itu, untuk beberapa saat lamanya aku mematung. Aku menatap foto pernikahan kami di dinding ruang makan, tampak aku dan Sinta tersenyum lepas tanda kami sangat bahagia. Akan tetapi, malam ini senyum di foto itu hanya menjadi kenangan. Ah, andai saja aku tidak teralihkan pada perempuan lain, mungkin aku menjalani hari-hari bahagia bersama Sinta. Aku merasa bodoh. Aku menyesal. Aku.... Aku terpaksa malam ini tidur di atas sofa di ruang tamu.
***
Tanggal 25 bulan depan Mas ada undangan reuni SMA. Rencananya Mas mau datang ke acara tersebut. Lumayan bisa melepas kangen bersama teman-teman setelah sekian tahun ga pernah ketemu, ucapku suatu pagi.
Aku sih silakan saja Mas, timpal istriku sambil menyerahkan sepotong roti oles mentega bertabur cokelat kesukaanku.
Terima kasih sayang, jawabku sambil kukecup punggung tangan istriku.
Tapi hati-hati loh Mas, kata orang-orang kadang reuni tuh suka berujung CLBK,
Engga lah, cuma kamu seorang di hati aku, selorohku.
Pagi-pagi sudah menggombal. Udah ah, sebaiknya Mas segera berangkat. Tuh sudah pukul tujuh pas. Entar kesiangan lho, kata istriku mengalihkan pembicaraan.
Hmmm... ia yang memulai, ia sendiri yang ingin menyudahi.
Oke boss..., jawabku lucu-lucuan. Istriku hanya tersenyum manis. Manis sekali.
***
Setibanya di kantor tempat kerjaku, kusempatkan membuka pesan WhatsApp di HP-ku. Beberapa pesan di grup kubuka dan kuabaikan. Hanya beberapa pesan pribadi yang aku balas. Namun, ada satu di antara pesan pribadi tersebut yang nama pengirimnya tidak kukenal.
Hai Rama, masih ingat aku ga? Reunian nanti kamu bs dtg kan? Aku kangen bgt lho pengen ketemu kamu....
Aku tak membalasnya. Biar sajalah, nanti juga kalau dia merasa butuh pasti menghubungiku lagi, begitu pikirku. Lagipula identitasnya belum jelas pesan itu dari siapa. Tanpa foto profil dan anonim. Jadi, tidak ada salahnya kan jika aku mengabaikannya? Lebih baik aku fokus menyelesaikan pekerjaan di kantorku.
Tak terasa aku larut dengan kesibukankku sampai sore menjelang. Hingga... tok-tok-tok.... Tiba-tiba pintu ruanganku ada yang mengetuk.
Silakan masuk! kataku agak dikeraskan.
Hai Rama, masih ingat aku ga? tanyanya manja. Kata-katanya sama persis dengan pesan di WA yang tadi pagi kubaca. Lalu wanita itu langsung duduk sebelum kupersilakan. Aku menelan ludah. Shock dengan kehadiran teman lamaku waktu di SMA dulu. Ya, Ranti. Sosok wanita cantik yang pernah singgah mengisi hatiku. Tapi itu dulu, dan kini? Entahlah.
Kok malah bengong Ram? katanya membuyarkan kenangan lamaku bersama Ranti.
Eh iya, iya.... Gimana kabarmu Ran? tanyaku sedikit gugup.
Pesanku kok ga dibales sih Ram? Jadinya aku langsung ke sini deh. Kamu sibuk ya?
Oh iya tadi pesanmu sempat kubaca tapi belum sempat kubalas. Maaf ya, kataku membela diri.
Ga papa Ram, yang penting sekarang kita bisa bertemu. Iya kan? jawab wanita itu dengan nada menggoda tanpa malu.
Aku semakin risih. Ah, mungkin dia telat minum obat, pikirku iseng. Aku jadi semakin khawatir dengan kehadiran Ranti di hadapanku. Hmm... kalau memang tujuannya baik, ngapain juga dia tiba-tiba datang menemuiku? Jangan-jangan dia datang hanya untuk mengusik kebahagiaan kami? Ah, tapi... aku jadi teringat kata-kata para ustaz bahwa kita harus mendahulukan prasangka baik kepada orang lain, apa pun yang dilakukan orang tersebut kepada kita.
Oya, kayaknya aku ga bisa lama-lama di sini nih. Sebentar lagi waktunya jam pulang, kataku berusaha menghindar.
Oh, kebetulan dong. Aku bisa sekalian numpang mobil kamu. Kita searah kan Ram? ujarnya malah semakin gencar.
Aku tidak bisa mengelak. Akhirnya, aku pulang dari kantor didampingi seorang wanita yang kehadirannya sama sekali tak kuharapkan. Ya, walaupun Ranti itu pernah dekat denganku, kini kondisinya sudah berbeda. Aku sudah terikat tali pernikahan yang suci dengan Sinta, istriku. Sementara Ranti banyak bercerita tentang seputar acara reuni nanti dan masa-masa di SMA dulu, pikiranku hanya ingat senyum manis Sinta di rumah. Ya, Allah... mimpi apa ya aku tadi malam? Aku beristigfar berkali-kali.
***
Selepas mandi, aku menghampiri Sinta. Yang kuhampiri nyaris tanpa senyum, tanpa kata. Ia diam seribu bahasa. Lalu ia terisak pilu di hadapanku. Aku bingung harus berbuat apa. Beberapa manit kemudian Sinta menyerahkan HP-nya kepadaku dan memperlihatkan pesan dari seseorang. Kubaca pesan yang isinya lumayan panjang tersebut. Ternyata pesan dari Ranti!
Jadi, ternyata selama ini Mas Rama suka jalan sama wanita itu ya? tanya Sinta sambil berurai air mata.
Tak kusangka, Ranti berbuat nekat. Rupa-rupanya foto-foto saat ia menumpang pulang di mobilku dijadikan alat untuk membakar api cemburu Sinta.
Aku memang sempat bersama dengan wanita itu, tapi...,
Belum sempat kujelaskan semuanya, Sinta memotong ucapanku karena cemburu.
Sudahlah Mas! Aku sudah tahu semuanya. Pantas saja kau bersemangat sekali untuk hadir di acara reuni itu. Rupanya ada wanita lain di hatimu.
Setengah berlari Sinta masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Kuketuk pintu kamar dan kupanggil Sinta beberapa kali. Akan tetapi, pintu tetap tidak dibuka dan Sinta tidak merespons sedikit pun panggilanku. Ah, mungkin bukan sekarang waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Samar-samar kudengar Sinta masih menangis tersedu-sedu.
***
Kuputuskan pagi ini harus kujelaskan semuanya kepada Sinta bahwa tidak seluruhnya benar apa yang disampaikan Ranti dalam pesan WA-nya itu. Kesalahan terbesarku adalah tidak berani bertindak tegas dalam menolak permintaan orang lain kepadaku, terlebih jika yang meminta tolong itu seorang wanita.
Aku minta maaf padamu, Sinta! Kuakui aku salah.
Sinta terdiam beberapa saat.
Tolong izinkan aku kembali, Sinta! Izinkan aku kembali menjadi suami yang baik bagimu! Izinkan aku kembali memperbaiki sikapku! Dan izinkan aku kembali menata hatiku agar senantiasa selalu setia menjaga hatimu!
Sinta masih tetap terdiam. Tiba-tiba ia menghampiriku dan memelukku sangat erat. Ya, pelukan Sinta lebih dari sekadar bahwa ia telah memaafkan kesalahan-kesalahanku.

Bogor,
Saat gerimis mulai turun satu-satu

Our Blog

55 Cups
Average weekly coffee drank
9000 Lines
Average weekly lines of code
400 Customers
Average yearly happy clients

Our Team

Tim Malkovic
CEO
David Bell
Creative Designer
Eve Stinger
Sales Manager
Will Peters
Developer

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Rangkuman Koneksi antar Materi

  Sekolah merupakan lembaga pendidik yang berperan dalam memajukan SDM seutuhnya yang didalam terdapat kegiatan KBM yang terprogram dan terp...