Sabtu, 25 Juli 2020

RUANG A 39

Oleh: Dani Makhyar

"Gimana Mah, jadi kita ke Sumedang?" tanya suamiku.
"Hmm ... gimana ya? Mamah agak males Yah," jawabku ogah-ogahan.
"Kalo menurut Ayah sih sebaiknya kita pergi saja biar semuanya jadi jelas," timpal suamiku. Ia yang bertanya, tetapi ia sendiri yang menjawab. Ya, aku sedikit trauma kalau aku harus mengunjungi Kang Erwin di Sumedang. Perkataannya pedas dan bikin nyelekit.
"Makanya, Akang bilang apa. Kalo nyari suami tuh pilih yang masa depannya jelas. Yah, kira-kira kayak Akang beginilah. Jadi pengusaha. Jangan sama guru macam dia," kata Kang Erwin dengan angkuh saat kusampaikan niat Bang Indra akan menikahiku. Ah, kejadiannya sudah sangat lama, tetapi masih tergores di hati ini hingga kini. Bahkan, belum lama ini juga saat aku mau pinjam uang untuk biaya kuliah si sulung, Raihan, Kang Erwin bukannya memberikan pinjaman. Eh, dia malah mengata-ngatai suamiku dengan kata-kata yang membuat telingaku jadi panas luar biasa.
"Emang suamimu bertahun-tahun ngajar apa ga bisa ngumpulin uang buat biaya anaknya kuliah? Kalopun ada uang, ga bisa aku pinjemin buat kamu karena aku masih butuh buat nambah modal usahaku," ceramah Kang Erwin panjang lebar cukup menyebalkan. Aku pun pulang dengan tangan hampa.
"Sudahlah Mah, kita cari cara lain saja," hibur suamiku saat itu.
"Baiklah Yah," jawabku sedikit lega. Hingga akhirnya kujual beberapa perhiasan simpananku sebagai solusi biaya kuliah anakku. Tadinya sih, kuberanikan pinjam uang ke Kang Erwin karena punya jaminan dua bulan lagi aku akan mendapat arisan. Tapi, sudahlah. Sepertinya menjual perhisanku merupakan solusi terbaik kami saat itu.
"Gimana Mah? Ditanya kok malah bengong," tanya suamiku.
Aku tersentak kaget, "Oh iya Yah, iya," jawabku gelagapan.
"Apanya yang iya?" canda suamiku sambil tersenyum.
"Ih, Ayah menggodaku ya?" pura-pura kucubit pinggang suamiku. Ia pun berteriak-teriak kecil seolah-olah menahan sakit dengan mimik yang lucu.
***
Hari masih gelap. Si sulung masih terlelap, begitu pula kedua adiknya. Setelah menjemput adikku, Amir yang tinggal di Bandung, aku dan suamiku segera melesat membelah kabut menuju menuju Sumedang menemui Kang Erwin. Kami janjian bertemu untuk membicarakan masalah harta warisan keluarga. Sebetulnya aku sendiri tidak terlalu ngotot ingin mendapatkan warisan tersebut. Terlebih suamiku. Mas Indra mengatakan bahwa kami sudah merasa cukup dan bersyukur dengan kondisi yang kami miliki saat ini. Sederhananya, dapat warisan syukur, tidak dapat juga tidak apa-apa. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, biaya dll. kami lakukan semata-mata demi membantu Amir untuk mendapatkan haknya. Kupikir meskipun aku berhak untuk mendapatkan harta warisan kedua orang tuaku, toh Amir lebih membutuhkannya. Lagi pula, kalau semua harta warisan kedua orang tua kami yang berupa tanah itu seluruhnya hanya dimiliki Kang Erwin seorang, itu namanya tidak adil. Ada aku, dan ada Amir. Ya, yang kuperjuangkan saat ini adalah demi tegaknya keadilan. Ehm.
Setibanya di Sumedang.
"Jadi, kami bertiga ke sini memang sengaja," belum sempat kutuntaskan ucapanku, Kang Erwin sudah memotongnya dengan nada tinggi.
"Akang sudah tahu maksud kalian ke sini untuk apa. Sementara ini, uang hasil penjualan tanah warisan mau aku jadikan modal dulu. Jadi belum bisa aku serahkan kepada kalian sekarang," kata Kang Erwin memutuskan sepihak.
"Tapi Kang," sergahku.
"Sudahlah! Aku masih banyak urusan. Nanti bulan depan aku kabari kalau untungnya sudah balik modal," suara Kang Erwin makin meninggi sambil pergi meninggalkan kami, sementara Amir tak berkata sepatah kata pun. Aku kecewa, Amir pun demikian. Tampak dari mimik Amir dipendamnya rasa kecewa itu dalam-dalam. Kami pun pulang dengan tangan hampa.
"Kita tunggu saja ya Mir. Biarkan Kang Erwin bisa membuktikan kata-katanya. Akan tetap Teteh perjuangkan supaya hak Amir bisa didapatkan," kuhibur Amir agar rasa kecewanya sedikit terobati.
"Ada hak Teteh juga kan?" tanyanya singkat. Aku hanya tersenyum mengangguk, tanda mengiyakan.
***
Sebulan berlalu. Tiga bulan tanpa kabar. Enam bulan sepi. Ah, janji Kang Erwin seperti tertiup angin. Kocoba hubungi Kang Erwin via telepon, tetapi tak diangkat-angkat. Kukirim pesan via whatsapp hanya di-read, tak dibalas.
Tak kuduga malah kudapatkan kabar Amir sudah seminggu dirawat di rumah sakit. Aku belum sempat menengoknya karena kesibukanku, juga kesibukan suamiku. Maklum jarak kami Sukabumi-Bandung, bukan jarak yang dekat.
"Maafkan Amir ya Teh..." katanya lemah. Kutatap wajah pucat adikku satu-satunya. Lalu...
“Innalillahi wa inna ilaihi rujiuun..." bisikku lirih. Kusapu air mataku. Kupeluk istrinya, untuk saling menguatkan dan mengikhlaskan kepergian Amir. Ah Amir, secepat itu kau pergi meninggalkan kami.
Dua hari aku menginap di rumah almarhum adikku. Selama itu pula kuhubungi Kang Erwin. HP-nya tidak aktif dan pesan WA-ku hanya centang satu. Akhirnya kuputuskan untuk segera meluncur ke Sumedang menuju rumah Kang Erwin.
***
Aku terpaku, rumah mentereng dua lantai milik Kang Erwin nyaris rata dengan tanah. Yang ada tinggal puing-puing hitam. Dari kejauhan tergopoh-gopoh seorang perempuan menghampiriku. Ia memelukku dan menangis sesunggukan. Ya, Ceu Erna, istri Kang Erwin menangis di pelukanku hingga bahunya terguncang-guncang. Setelah tangisnya mulai mereda, kutatap wajah Ceu Erna..
"Ada apa Ceu?" tanyaku penasaran.
"Semuanya hilang, semuanya musnah," jawab Ceu Erna agak terbata. Ia pun menceritakan semuanya. Setelah menjual tanah warisan itu, rupanya banyak musibah beruntun yang menimpa Kang erwin. Ia ditipu rekan bisnisnya. Kendaraan angkutan barang miliknya tabrakan. Mobil pribadi kang Erwin yang dipinjam temannya hingga kini belum kembali. Yang terakhir musibah kebakaran rumah karena konsleting arus listrik. Semuanya terjadi dalam sekejap mata. Kang Erwin depresi berat hingga akhirnya menghilang entah ke mana. Menurut cerita Ceu Erna, pernah dapat kabar dari tetangga bahwa Kang Erwin sempat terlihat di sekitar Pasar Ujung Berung, Bandung. Aku menarik napas panjang dan beristigfar berkali-kali. Setelah kehilangan Arif, adikku, kini aku kehilangan kakakku, Kang Erwin.
"Ya Allah, ampuni dosa-dosa hamba-Mu ini dan jadikanlah pengorbananku untuk saudaraku ini tidak sia-sia," doaku lirih.
***
Berbekal informasi dari tetangga Ceu Erna, bersama suamiku dan istri almarhum Amir, kutelusuri kawasan Ujung Berung dan sekitarnya. Pasar, terminal, pinggiran toko, rumah-rumah kosong, bahkan tempat sampah. Kucari Kang Erwin tak mengenal waktu. Entah dini hari, saat terik matahari, bahkan saat hujan deras sekalipun. Pengorbanan dan usahaku tak sia-sia hingga kutemukan sosok laki-laki berperawakan agak tinggi dan berambut ikal sedang berjalan membawa karung lusuh di pundaknya. Ia tampak kumal, compang-camping dan sangat tidak terawat. Ya, aku kenal lelaki itu. Tak salah lagi, dia Kang Erwin. Kuhampiri dan kusapa dia,  "Kang Erwin," sapaku lembut.
Ia menatapku. Akan tetapi, di luar dugaan tiba-tiba ia berlari menjauh dariku seakan tidak ingin berjumpa denganku. Kupanggil-panggil dan kukejar Kang Erwin, tetapi dia tidak menghiraukanku. Apa daya Kang Erwin berlari jauh lebih cepat dariku hingga aku kehilangan jejaknya di kegelapan malam. Ya, aku kehilangan jejak Kang Erwin untuk yang ke sekian kalinya. Antara kesal dan sedih, masih kusempatkan memanjatkan doa untuk Kang Erwin, semoga dia baik-baik saja.
***
Tililit ... tililit ..., notification WhatsApp-ku berbunyi. Tampak sederet pesan untukku, tetapi nomornya sama sekali tidak kukenal.
"Bu Tita, perkenalkan sy Hasan. Sy pernah mbaca selebaran ttg org hilang di kawasan Ujung Berung. Kebetulan sy berpapasan dg sosok org yg hampir sm dg foto yg terpampang pd pamflet. Atas kerja sm & saran bbrp warga beserta aparat setempat, kami berinisiatif mengirim org yg mirip dg orang yang ibu cari ke RSJ Bandung. Untuk info lebih lanjut, ibu bisa hub no 0224205XXX. Trm kasih."

Tanpa ba-bi-bu, segera kuminta suamiku mengantakanku ke RSJ yang dimaksud. Setelah memarkirkan mobil, kami bergegas menuju customer service untuk mendapat penjelasan seperlunya. Kami telusuri koridor panjang di rumah sakit jiwa ini. Kudengar suara seperti orang yang sedang berorasi politik. Ada pula yang berteriak-teriak memanggil nama seseorang. Ada sepi, ada juga senandung orang bernyanyi. Akhirnya tiba juga kami ruangan yang dicari.
"Ya Allah," desisku lirih. Suamiku menggenggam erat tanganku. Kerongkonganku tercekat dan terasa sakit. Kusaksikan sosok seseorang yang sangat kukenal. Seorang lelaki  berambut ikal yang sebagiannya beruban itu sedang duduk sendiri di pojok ruangan dengan tatapan kosong. Sesekali ia tersenyum sendiri. Lalu, ia terdiam. Sesaat kemudian, ia tersenyum lagi. Terdiam lagi. Begitulah silih berganti. Aku mendekatinya. Akan tetapi, aku dibuatnya terperanjat kaget karena tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Tak berapa lama kemudian ia pun menangis terisak perih.
Ah, pemandangan yang memilukan. Kutatap wajah Kang Erwin, tetapi ia seakan tak peduli akan kehadiranku. Hampir lima belas menit berlalu. Akan tetapi, aku hanya bisa berdiri mematung. Diam-diam kupanjatkan doa untuk kesembuhan Kang Erwin, kakak laki-lakiku. Tak kuasa, air mataku membanjiri kedua pipiku.
"Sebaiknya kita pulang Mah!" ajak suamiku lembut. Aku pun mengangguk meninggalkan ruangan itu: Ruang A 39.

5 komentar:

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Rangkuman Koneksi antar Materi

  Sekolah merupakan lembaga pendidik yang berperan dalam memajukan SDM seutuhnya yang didalam terdapat kegiatan KBM yang terprogram dan terp...