Senin, 22 Juni 2020
oleh : Dani Makhyar, M. Pd.
Anda seorang guru yang pendiam? Lho kok bisa? Ya bisa
dong. Menjadi seorang guru kan tidak harus menjadi hak perogratif bagi mereka
yang tidak pendiam saja bukan? Bagaimana rasanya menjadi seorang guru yang
pendiam? Lalu, jika gurunya pendiam, apa jadinya suasana kegiatan belajar
mengajar di kelas? Hmm…rasa-rasanya pertanyaan saya yang terakhir ini hanya
retoris belaka. Jadi, cukup Anda jawab dalam hati saja. Bagaimana? Sepakat bukan?
Sederet pertanyaan yang lain sejujurnya masih mengantre
di benak saya. Kebetulan saya termasuk guru yang lumayan “ramai” ketika sedang mengajar
di kelas. Hampir selalu ada saja kalimat yang dapat saya lontarkan kepada para
peserta didik di hadapan saya. Menjelaskan materi yang sedang dipelajari, itu
pasti. Menyapa atau menegur peserta didik, itu juga saya lakukan. Memberikan
apresiasi berupa pujian terhadap siswa yang berprestasi, baik dari segi sikap, maupun
berprestasi secara akademik, apalagi. Jadi, sesungguhnya saya cukup syok
tatkala harus mencoba menuliskan beberapa resep untuk guru
yang
pendiam dalam
mengelola kelas. Betapa
tidak, dalam pandangan awam saya, komunikasi antara seorang guru dengan para
peserta didik menjadi salah satu kunci utama dalam menunjang keberhasilan
proses kegiatan belajar mengajar. Lha, kalau gurunya pendiam bagaimana? Jangan
khawatir, sekalipun termasuk tipe guru yang pendiam, tidak menutup kemungkinan Anda
akan tetap mampu mengelola kelas dengan baik dengan tiga resep berikut ini.
1.
Buatlah
semacam kontrak belajar sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung, misalnya
pada awal semester atau pada awal tahun ajaran baru. Kontrak belajar adalah
kesepakatan-kesepakatan yang dibuat antara guru dan peserta didik. Misalnya, dibuat
kesepakatan bahwa seluruh peserta didik harus menyimak saat guru sedang
berbicara atau menjelaskan materi pelajaran. Hendaknya kontrak belajar dibuat
secara tertulis dan ditempel di dinding kelas. Jika hal tersebut sudah menjadi
kesepakatan bersama, guru akan lebih leluasa saat ia harus berbicara. Khusus
untuk guru yang pendiam, resep pertama ini bisa jadi sangat membantu bukan?
2.
Gunakan
kode tertentu yang menjadi budaya kelas. Misalnya kode tepuk tangan dari guru.
Tatkala guru bertepuk tangan satu kali, artinya seluruh peserta didik harus duduk
rapi. Tepuk tangan dua kali, artinya peserta didik harus memperhatiakan guru,
dst.
3.
Gunakan
berbagai metode/model pembelajaran yang bervariasi dan berpusat kepada peserta
didik. Kegiatan seperti diskusi kelompok, bermain peran, berbagai games/permainan,
performance/demonstrasi, melakukan percobaan dll. akan sangat diminati peserta
didik. Selain itu, pemanfaatan berbagai media audio visual ataupun fitur-fitur
yang ada dalam gadget untuk kegiatan pembelajaran tidak akan membuat siswa
bosan. Dengan sendirinya hal tersebut akan banyak membantu guru.
Itulah tiga resep yang bisa saya share kapada
Anda kali ini, Jujur ya, saya tidak bermaksud mengajari, Akan tetapi saya
percaya, meskipun Anda guru yang pendiam, sesungguhnya Anda tetap guru yang hebat.
Harapan saya, dengan resep sederhana tadi, baik saya maupun Anda, dapat mengelola
kelas dengan lebih baik lagi. Selamat mencoba ya!
Selasa, 16 Juni 2020
Better Late than Never
Oleh: Dani Makhyar, M.
Pd.
Sepuluh
hari sudah berlalu. Namun, resume Pembelajaran “Menulis Online Bersama
Om Jay” pertemuan ketiga yang diselenggarakan pada 5 Juni lalu bersama Ibu
Kanjeng belum juga tuntas. Kebelumtuntasan saya menuliskan resume tentunya dengan
berbagai alasan, salah satunya adalah faktor kesibukan. Klasik memang karena
sesungguhnya setiap orang pasti punya kesibukan. Hmmm… kalau begitu, dengan
sendirinya alasan kesibukan jadi terbantahkan, bukan? Hehe…exactly! Tinggal
bagaimana pintar-pintarnya kita menyiasatinya saja. Dengan kata lain, faktor utama
yang bisa mengentaskan segala excuse seperti itu dikembalikan kepada
diri kita sendiri. Ya, makhluk itu bernama motivasi.
Seperti
pada malam itu, dengan besusah-payah saya pun menghadirkan motivasi yang kuat. Saya
sudah standby di depan HP untuk menyimak materi yang akan disampaikan. Mengagumkan.
Itulah satu kata yang saya sematkan untuk pemateri yang luar biasa malam itu,
yaitu Ibu Sri Sugiastuti atau yang dikenal dengan sebutan Ibu Kanjeng. Penyampaian
materi oleh beliau tentang “Berbagi Pengalaman Menerbitkan Buku” diawali dengan
penjelasan panjang lebar melalui voice note, kemudian dilanjutkan dengan
sesi tanya jawab secara tertulis di grup WA. Maka, beruntunlah puluhan
pertanyaan dari peserta ditujukan kepada beliau. Pertanyaan demi pertanyaan
mengalir terus seakan tiada henti. Namun, semua pertanyaan yang nyaris membuat
kewalahan Bu Fatimah yang kala itu
menjadi moderator, dibabat habis oleh Bu Kanjeng dengan jawaban yang
mudah dipahami.
Menurut
wanita hebat kelahiran 8 April 1961 ini, beliau sebetulnya merasa terlambat
belajar menulis. Karier menulisnya dimulai ketika usianya menjelang setengah
abad. Usia yang bisa dikatakan tidak muda lagi. Akan tetapi, semangatnya yang
luar biasa mengantarkannya menjadi seorang penulis yang sangat produktif.
Menurut
Ibu Kanjeng, tahun 2010 dianggap sebagai tahun keberuntungannya. Pada tahun
tersebut, dua buku karyanya yang berjudul SPM Ujian Nasional Bahasa Inggris
untuk SMK dan buku antologi Diary Ketika Buah Hati Sakit diterbitkan
Penerbit Erlangga. Selain itu, dalam rangka hari Kartini, diterbitkan pula buku
keroyokan kompasianer tahun 2014 yang berjudul 25 Kompasianers Merawat
Indonesia. Pada tahun yang sama, sebuah penerbit indie, Peniti Media, menerbitkan karyanya
berjudul Indonesia Satu serta beberapa buku antologi seperti Muara
Kasih Ibu, Go to 2020, dan Move
on.
Tak
hanya sampai di situ, pada tahun 2013, tiga buah bukunya berhasil diterbitkan. Sebuah
buku parenting berjudul Seni Mendidik Anak Sesuai Tuntunan Islami diterbitkan
Penerbit Mitra Widyawacana, Jakarta. Lalu, sebuah novel hidayah berjudul Kugelar
Sajadah Cinta diterbitkan penerbit indie Bentang Pustaka, Sidoarjo
dan novel Deburan Ombak Waktu diterbitkan penerbit indie Goresan Pena, Cirebon.
Dua
tahun kemudian, buku PM Ujian Nasional Bahasa Inggris untuk SMK edisi
baru diterbitkan kembali oleh Penerbit Erlangga. Pada tahun berikutnya buku The
Stories Cakes For Beloved Moms diterbitkan oleh penerbit indie Oksana.
Bahkan, pada tahun 2017 karya-karya beliau membanjir laksana air bah, seperti
buku The Stories of Wonder Women yang diterbitkan Penerbit Media Guru. Wow
English is So Easy Kids, novel Tipuan Asmara, novel Perempuan
Terbungkas, buku motivasi Catatan Religi Bu Kanjeng, dan tiga buku parenting
yaitu Merawat Harapan, The Power of Mother’s Prayer, serta Masuk
Surga Karena Anak. Luar biasa bukan?
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa Ibu Kanjeng berproses menjadi seorang penulis itu
pada saat usia hampir mendekati usia lima puluh tahun. Akan tetapi, dengan berbekal
pedoman better late than never, beliau terus berusaha dan belajar hingga
akhirnya beliau katagihan untuk bisa menulis buku dan terus meng-upgrade
diri agar bisa “naik kelas”.
Pada
tahun 2007, pada saat beliau jeda setelah 25 tahun, akhirnya beliau baru bisa
mengambil kuliah S2. Pada saat itulah beliau harus berkenalan dengan internet, harus
berkenalan dengan medsos, harus banyak ke perpustakaan ataupun ke toko buku.
Sampai pada akhirnya beliau menemukan sebuah buku karangan R. Sis yang biasa
dipanggil Kang Iwa. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa menulis itu gampang. Dari
buku itulah beliau termotivasi dan meyakini bahwa dirinya harus bisa menulis.
Setelah
itu, pada tahun 2009, ketika mengikuti rapat di MGMP Bahasa Inggris, beliau diajak
seorang temannya untuk menulis buku ajar. Kebetulan saat itu yang membutuhkan para
penulis buku adalah Penerbit Erlangga. Karena diajak teman, dengan PD-nya
beliau mengatakan kesiapannya. Akhirnya mereka pun menyusun buku Seri Pendalaman
Materi Ujian Nasional Bahasa Inggris untuk SMK. Proses membuat buku ajar
itu cukup lama, kurang lebih selama enam bulan. Setelah direvisi, akhirnya pada
bulan Oktober 2010 buku itu terbit. Walaupun disusun oleh dua orang penulis, penyusunan
buku tersebut melibatkan satu orang dari pihak Erlangga sebagai penasihat atau
providernya, yakni Bu Eli Sofa. Jadi, satu buku terdiri atas tiga orang tim
penyusun.
Dari
buku itulah beliau mulai merasakan suatu keuntungan dalam bentuk kepuasan
karena buku itu tingkat nasional dan dipakai untuk siswa SMK khususnya kelas XII.
Selain itu, beliau pun menikmati royalti yang setiap semester pasti mengalir ke
dalam buku rekeningnya. Wow, asyik bukan?
Buku
itu dapat dikatakan laris manis karena pada tahun 2015 ada edisi revisinya. Bahkan,
penulisnya ditambah lagi satu orang. Kebetulan buku karya beliau tersebut termasuk
buku yang harus dibeli oleh siswa, masuk dalam bidang pengadaan. Jadi, buku
tersebut digunakan hampir di seluruh Indonesia. Karena sekupnya tingkat
nasional, omset penjualannya pun laris manis sehingga hal itu mengimbas juga kepada
penulisnya. Nah, di saat itulah beliau dibuat tercengang sekaligus bersyukur
karena pundi-pundi yang masuk ke nomor rekeningnya sangat besar, hampir lebih dari
uang sertifikasi. Beliau pun memanfaatkan uang tersebut untuk belajar dan belajar
lagi.
Itulah
pengalaman beliau ketika menerbitkan buku di penerbit mayor. Penerbitnya memang
cukup representatif, yaitu Penerbit Erlangga. Untuk bisa menembus ke sana, tentu
bukanlah hal yang mudah. Beliau menganggap hal tersebut bukan sebagai faktor kebetulan,
melainkan sebagai cara Allah menemukan takdir dari tulisan-tulisan yang sudah ditorehkan
beliau.
Nah,
paparan beliau selanjutnya adalah seputar pengalaman beliau menggunakan nama
pena Astutiana Mujono. Nama itu terinspirasi saat beliau mengisi blog yang
lumayan keren yaitu Kompasiana, atau seperti Indosiana yang menggunakan “ana”
pada akhir suku katanya sehingga nama Astuti pun diubah menjadi Astutiana. Namanya
juga penulis pemula, di situ beliau menulis apa yang ada di hati dan dipikiran sampai
setebal 418 halaman. Buku itu berkisah dimulai dari kisah ibunya saat remaja bertemu
ayah dulu, hingga kisah Ibu Kanjeng sampai mentok berusia 50 tahun.
Setelah
itu, beliau sering ikut menulis berbagai buku antologi, baik yang diajak oleh teman-temannya
yang cinta literasi, ada yang dari kompasiana, ada yang dari emak-emak bloger, maupun
dari komunitas-komunitas lain dengan berbagai tema. Jadi, kalau dihitung-hitung,
ada sekitar 25 buku antologi. Jumlah yang sangat fantastis!
Menurut
Ibu Kanjeng, dengan kita ikut menulis di buku antologi itu, kita belajar
berbagai macam jenis tulisan dari teman-teman
kita. Kita juga akhirnya memiki ciri kepenulisan sendiri. Dalam proses belajar menulis
sekaligus menerbitkannya sendiri, itu memang gurih-gurih sedap. Beliau bisa bertemu
Om Jay pada tahun 2013. Waktu itu beliau sudah menerbitkan tiga buah buku,
yaitu sebuah buku ajar, sebuah buku parenting, dan sebuah novel Kugelar Sajadah
Cinta.
Dalam
novel tersebut dikisahkan mulai ibunya remaja hingga Ibu Kanjeng berusia 50
tahun, selasai kuliah S2, termasuk juga kisah
pada tahun 2006 yang mendapat kemudahan untuk melaksanakan ibadah haji, Jadi, kiah-kisah
tersebut sudah dirangkum menjadi biografi mini beliau. Buku tersebut dijadikan buku
pedoman atau pusat ide beliau. Jadi, kalau beliau ingin menulis tentang apa pun,
idenya dari situ kemudian bisa beliau kembangkan.
Buku
berikutnya adalah buku parenting Seni Mendidik Anak secara Islami. Buku tersebut
diterbitkan penerbit semimayor. Artinya, ketika buku itu diterbitkan, beliau
tidak mengeluarkan uang. Namun, beliau diberi 100 buku untuk dijual dengan
diskon 40%. Alhamdulillah ke-100 buku itu dapat dijual semua. Lalu, pada tahun
2017, ketika ditanyakan kepada penerbitnya perihal bukunya itu, alhamdulillah, beliau
masih mendapat sedikit royalti dari penjualan buku tersebut.
Selanjutnya
proses beliau menulis buku/belajar. Beliau
termasuk orang yang sangat getol atau suka silaturahmi dan ikut belajar, jadi
rasa ingin tahunya sangat besar. Waktu orang ramai-ramai ribut ngeblog dapat uang,
punya web dapat uang, beliau pun ikut belajar. Sampai-sampai beliau memanggil
mentor untuk mengajari beliau dengan biaya yang cukup mahal, tidak seperti saat
ini yang semua digelar secara gratis, dan itu juga hasilnya hanya pengalaman
saja karena tidak bisa maskimal.
Dengan
adanya berbagai macam dunia kepenulisan, beliau semakin lama semakin tertarik. Seperti
Media Guru beberapa kali mengadakan pelatihan dan beliau dengan gembiranya
mengikti kegiatan itu. Kemudian kegiatan-kegiatan lain, baik diklat yang
diadakan daring maupun luring, beliau pasti ikut. Selain beliau gunakan sebagai
ajang silaturahmi, di situ beliau semakin banyak mengenal berbagai teman yang
berprofesi sama sebagai penulis. Pepatah mengatakan kalau ingin jadi penulis, harus
bergaul dengan penulis. Kalau mau harum wanginya, dekat-dekatlah dengan penjual
parfum. Kalau berteman dengan pandai besi, aromnya adalah aroma besi. Maka, seiring
dengan berjalannya waktu, beliau pun akhirnya naik kelas, sering diajak untuk mengisi,
untuk berbagi, kadang juga mengisi acara bedah buku.
Ada
salah sastu buku beliau walaupun dicetak indie tetapi lebih dari 1.00 ekslempar.
Judul buku tersebut adalah The Stories of Wonder Woman. Buku tersebut
lebih kepada kisah motivasi bagaimana perempuan tangguh berusaha untuk menggapai
ridho Alloh. Buku itu ditulis cukup lama, kurang lebih sekitar delapan bulan. Karena
diambil dari true story, jadi bentuknya lebih ke faksi, yaitu fakta tetapi
fiksi. Nama tokoh dalam buku tersebut sudah diganti dengan nama samaran. Adapun
tujuan beliau menuliskan kisah tentang kehidupan perempuan tangguh itu paling
tidak bisa memotivasi perempuan-perempuan lain bagaimana agar tetap bersemangat,
tidak putus asa, selalu bersabar, bersyukur, dan ikhlas ketika menghadapi
cobaan.
Sebelum
pertemuan ketiga perkuliahan online ini diakhiri, Bu Kanjeng
menyampaikan beberapa pesan penting antara lain sebagai berikut. Menulis itu
keterampilan, bukan bakat. Jadi, berlatihlah dan tulislah berbagai ide yang terserak
di sekitar kita. Jadikan menulis dan membaca
sebagai gaya hidup. Tentu saja membaca yang selektif dengan kacamata yang utuh.
Istikamahlah dalam menulis dan biarkan tulisan itu menemui takdirnya. Jangan
risaukan, tetaplah menulis dan belajar meng-upgrade diri agar naik kelas.
Menulislah apa yang disukai dan dikuasai….
Wow,
paparan luar biasa dan sangat mengagumkan, bukan? Tak terasa hari terus berlalu.
Hingga pada akhirnya aku pun baru bisa mengirimkan resume ini via email beliau tepat
pukul 00.01 WIB. Telat dua menit dari dead line batas pengiriman resume
yang sudah disepakati. Hmm…telat ya? Yups, better late than never hehe….
Selasa, 09 Juni 2020
SESAL
Oleh : Dani Makhyar, M. Pd.
“Apapun alasanmu, Ibu tetap keberatan,” kata perempuan paruh baya itu dengan nada sedih.
“Tapi ini kesempatan Bu. Bukannya Ibu pernah bilang, kesempatan itu tidak pernah datang dua kali? Pokoknya proyek itu tetap harus berlanjut,” timpalku meninggi.
“Tapi Nak....”
Belum sempat Ibuku memberikan penjelasan, aku sudah memotong ucapannya.
“Ah, sudahlah Bu! Toh kalau proyek ini sukses, Ibu juga akan kecipratan hasilnya.” Aku pun berlalu meninggalkan ibuku begitu saja. Tentu dengan menenteng selembar map berisi sertifikat rumah dan tanah ibu di genggamanku. Sekilas istriku memeluk ibuku yang mulai menangis tersedu-sedu. Aku bergeming.
***
“Gimana Pak Bos, proyeknya dilanjutkan apa tidak? Kami masih berbaik hati lho selama sebulan ini menunggu kabar baik dari Pak Bos....” Tampak sederet pesan WhatsApp diakhiri emot smile dari Pak Robby, kontraktor pembangunan hotel yang sedang kubangun di Tanjung Lesung, di kawasan Provinsi Banten.
“Iya dong. Lanjutkan Pak!” balasku singkat.
Ya, sambil menunggu proses pencairan dana dari bank, kuisi waktuku dengan membuka beberapa pesan penting. Sementara pesan-pesan dari beberapa grup WA hanya kubuka tanpa kubaca.
“Silakan Bapak tanda tangani beberapa berkas ini. Kami pastikan pekan ini uangnya akan kami cairkan langsung pada nomor rekening Pak Ryan. Sementara sertifikat rumah dan tanah sebagai jaminan yang Bapak berikan, kami pastikan pula akan kami kembalikan setelah lunas angsuran. Bagaimana Pak Ryan?” kata pihak bank sangat ramah.
“Baik Pak, terima kasih,” jawabku sambil kujabat tangannya. Aku pun berpamitan.
“Yes! Akhirnya...,” bisikku dalam hati.
***
Sebulan berlalu. Kuputuskan hari ini aku meluncur ke Tanjung Lesung. Ingin kupastikan pekerjaan Pak Robby dan anak buahnya bisa dipercaya atau tidak. Hanya beberapa jam saja aku sudah tiba di lokasi. Pak Robby segera menyambutku.
“Bagaimana Pak Bos? Tinggal 30% lagi. Saya jamin dalam tiga pekan ke depan semuanya akan beres,” jelas Pak Robby sambil menemaniku mengecek bangunan hotel yang hampir rampung.
“Baik Pak Robby, sisa kekurangan dananya akan saya transfer besok pagi. Jujur saya sangat puas dengan hasil kerja Pak Robby dan kawan kawan.” Pak Robby pun tertawa bangga. Di sela-sela saat makan siang bersama Pak Robby, tiba-tiba HP-ku menjerit nyaring.
“Mas, Ibu masuk UGD.” Rupanya istriku yang meneleponku.
“Kamu tahu kan aku lagi di Tanjung Lesung?” jawabku ketus.
“Tapi Mas....”
Segera kututup HP-ku. Lalu, kulanjutkan bincang-bincang dan makan siang bersama Pak Robby. Huh, kalaupun aku harus segera menyusul ke rumah sakit melihat kondisi Ibu, kan ada dokter ahli yang bisa menangani Ibu. Aku agak kesal karena telepon tersebut. Mengganggu saja pikirku. Aku harus tetap fokus. Telah kurencanakan grand launching hotelku bulan depan. Jadi, harus kupastikan proyek pembangunan hotel berjalan mulus.
Setelah pembicaraan dengan Pak Robby kuanggap selesai, aku pun segera pulang ke rumah menuju Kota Serang. Selama di perjalanan hatiku berbunga-bunga. Kubayangkan nanti saat peresmian hotel aku mendapat banyak ucapan selamat dari berbagai kalangan. Termasuk dari para pejabat yang aku undang. Aku lupa bahwa pada saat yang sama ibuku sedang terbaring lemah di rumah sakit.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Sesuai dengan rencana, besok adalah hari yang sangat bersejarah bagikku. Acara grand launching hotel akan segera dilangsungkan. Seharusnya petang ini posisiku sudah standby di Tanjung Lesung. Akan tetapi, kondisi ibuku yang semakin kritis membuatku masih tertahan di rumah sakit ini. Aku semakin gelisah karena dua pilihan: bertahan di rumah sakit demi ibuku atau segera ke Tanjung Lesung untuk acara besok? Ah, semakin pusing saja aku. Aku lupa, tak sebait doa pun kulantunkan untuk kesembuhan ibuku, Pikiranku hanya tetap ke Tanjung Lesung: Grand Launching Ryan Hotel.
“Mas, apa tidak sebaiknya Mas turut mendoakan supaya Ibu lekas sembuh?” tanya istriku lembut.
Belum sempat kujawab pertanyaan istriku tersebut, tiba-tiba ibuku menggenggam tanganku sangat kuat. Beliau seperti memberi isyarat agar aku tetap berada di sampingnya. Samar-samar kudengar informasi di televisi.
“Pemirsa, tsunami setinggi lima meter menerjang kawasan pantai Selat Sunda. Kejadian tiba-tiba tersebut menyapu habis di wilayah Tanjung Lesung dan sekitarnya. Ratusan rumah dan sejumlah hotel rata dengan tanah....”
Aku mematung. Begitu shock dan tidak percaya dengan apa yang kusaksikan baru saja. Istriku menghampiriku cemas. Tiba-tiba pandanganku berkunang-kunang. Semuanya serba kuning. Lalu kabur. Lalu menjadi hitam dan gelap.
Minggu, 07 Juni 2020
Mengubah PTK Menjadi Buku? Why Not?
Oleh: Dani Makhyar, M. Pd.
Materi “Belajar Menulis Online
Bersama Om Jay Gelombang ke-12” kali ini adalah tentang “Mengubah PTK Menjadi
Buku” Materi tersebut dipaparkan oleh pemateri andal dari Bandung yang
berprestasi di tingkat nasional, Bu Hati Nurahayu, S. Pd., pada Rabu, 3 Juni lalu
melalui WhatsApp Group.
Menurut Bu Hati, bagi seorang guru, membuat
PTK menjadi sebuah kewajiban. Bahkan, bagi seorang guru PNS, PTK bisa digunakan
untuk mengajukan kenaikan pangkat. Selain itu, ternyata setelah membuat PTK,
seorang guru bisa mendapatkan PAK dalam versi lain, yaitu melalui PTK yang
dijurnalkan dan atau PTK yang dibukukan.
Dengan kata lain, dari satu PTK yang dibuat, akan diperoleh multimanfaat
bagi guru yang membuatnya, yaitu nilai PAK dari PTK itu sendiri, nilai PAK dari
PTK yang dijurnalkan, dan nilai PAK dari PTK yang dibukukan. Tak hanya sampai
di situ, PTK yang dibukukan dapat dijadikan sebagai sebagai bahan literasi
bacaan bagi pendidik lain yang sedang menyusun PTK.
Berdasarkan pengalaman Bu Hati dalam
menerbitkan PTK menjadi sebuah buku, ditemukan banyak versi dan ciri khas PTK.
Dari sekian banyak naskah PTK yang diterima, Bu Hati tidak serta-merta
menerbitkannya menjadi buku, tetapi mengubahnya terlebih dahulu agar menjadi
buku yang oke dan menarik. Dalam mengubah PTK menjadi buku, yang manjadi hal
terpenting adalah bagaimana seorang penulis memperbanyak isi materi variabel bebas
berdasarkan kata kunci judul PTK. Dengan kata lain, bagaimana seorang penulis dapat
memperluas isi bacaannya berdasarkan sumber-sumber yang relevan.
Selanjutnya, Bu Hati menuturkan
bahwa dalam satu buku masih diperbolehkan terdapat dua PTK yang ditulis oleh
dua orang yang berbeda, Akan tetapi, tentu para penulisnya akan mendapatkan
angka kredit yang berbeda dengan buku yang berasal dari seorang penulis saja. Agar
dapat disebut kategori aman untuk pengajuan angka kredit, buku yang berasal
dari sebuah PTK minimal terdapat 70 halaman.
Tips lain yang dijelaskan Bu Hati
terkait cara mengubah PTK menjadi sebuah buku adalah banyak membaca buku best
seller. Dengan banyak membaca buku best seller, diharapkan penulis
bisa banyak belajar menyajikan materi menjadi sebuah buku, melihat tata letak
sebuah buku agar lebih menarik dibaca dengan segala variasinya. (Wah, rupa-rupanya
Bu Hati mengarahkan kita sebagai penulis merangkap jadi seorang editor juga ya
Bu? Hehe….)
Hal terpenting lainnya menurut Bu Hati
adalah berbagai upaya yang kita lakukan agar isi buku PTK yang diterbitkan nantinya
dapat dipahami pembaca secara lengkap dan mengena. Terkait hal ini, penulis diberi
kebebasan karena pada dasarnya setiap penulis memiliki ide dan kreativitas
masing-masing. Tentu saja perbedaan antara satu penulis dengan penulis lainnya disebabkan
oleh pengalaman dan bacaan yang berbeda pula.
Nah, sekiranya hari ini kita ingin mengubah
PTK menjadi sebuah buku, why not? Let’s do it!
Sabtu, 06 Juni 2020
Ngutang Resume
Ngutang Resume
Oleh: Dani Makhyar, M. Pd.
Tugas kedua membuat resume “Belajar Menulis
Online Bersama Om Jay Gelombang ke-12” kali ini menorehkan suka-duka juga
luka yang cukup mendalam. Lho, kok bisa? Betapa tidak, setelah menyimak paparan
materi tentang “Mengubah PTK Menjadi Buku” yang disampaikan oleh pemateri andal
dari Bandung, Bu Hati Nurahayu, S. Pd., pada Rabu, 3 Juni lalu hingga pukul 23
WIB lebih sedikit, besoknya pagi-pagi sekali aku harus sudah membelah kabut,
meluncur ke tempat aku bertugas untuk menghadiri rapat dinas kelulusan siswa
kelas IX. Enam jam perjalanan pulang-pergi
menaiki sepeda motor plus enam jam menghadiri rapat dinas tersebut menyisakan lelah
dan rasa nyut-nyut-nyut di hampir sekujur tubuh hingga saat aku menuliskan
coretan kecil ini. Aku terkapar kelelahan setelah kusempatkan bersih-bersih
tubuh, mengisi perut sekadarnya, dan melaksanakan salat.
Dua hari kemudian, tepatnya pada Jumat
pagi, aku sudah duduk manis di depan laptop. Tekadku sudah menggebu untuk segera
melunasi “utang” resume pertemuan kedua. Namun, tiba-tiba sebuah notifikasi di
HP mengalihkan perhatianku. Sederet pesan WA dari wakasek kurikulum
menginformasikan bahwa ada salah satu siswaku yang nilainya tidak lengkap.
Ketidaklengkapan tersebut dapat menyebabkan status kelulusan siswa jadi
tertunda. Seketika saja aku kalang kabut dibuatnya. Niat muliaku menyelasaikan
utang ke Om Jay pun langsung buyar. Seharian penuh kucoba menghubungi siswa yang
bersangkutan, sebut saja inisialnya NK. Kuhubungi rekan-rekan guru dan
teman-teman NK agar informasi dari wakakur bisa sampai di tangan NK. Hasilnya
nihil senihil aku melunasi utang membuat resume pertemuan kedua ini. Karena
lumayan lelah, sambil rebahan kuputar rekaman audio dari pemateri pertemuan
ketiga yaitu Ibu Sri Sugiastuti, M. Pd. Akan tetapi, baru saja kupejamkan mata
ini, tiba-tiba sebuah notifikasi dari HP terdengar nyaring. Aku terperanjat. “Pak
Dani, mohon maaf saya baru mengumpulkan tugas hari ini (NK)”. Kukondisikan perasaanku
yang campur aduk sedemikian rupa. Kubalas pesan NK dengan ucapan terima kasih,
kulengkapi nilainya dan kukirim segera ke wakakur, lalu aku bobo manis. Tekadku
masih menyala, besok pagi utangku harus segera kulunasi. Titik.
Kubuka Kembali laptopku. PR niat
muliaku melunasi utang tetap berkobar. Kesalahanku hanya satu: membiarkan HP
tergeletak cantik di sebelah laptop. Hingga peristiwa yang hampir serupa pun terjadi
lagi. Sebuah notifikasi di HP mengalihkan perhatianku lagi. Tak tahan aku untuk
segera membuka sebuah pesan di dalamnya. “Dani, Teteh sudah di depan rumah.” Gubrak…!
Aku syok, terdengar suara pintu gerbang rumahku dibuka. tampak rombongan keluarga
besar kakak perempuanku memasuki rumahku. Kututup kembali laptopku. Kusambut
mereka dengan hangat. Aku larut dengan bincang dan derai tawa bersama mereka hingga
Isya menjelang. Kulayani mereka dengan baik semampu aku bisa. Mereka pun berpamitan.
Aku tetap tersenyum sekalipun kembali lelah mendera. Kuputuskan untuk berbaing
sejenak di atas sofa. Tanpa sadar aku pun tertidur pulas. Lha, terus tugas
resumenya bagaimana? Kondisinya tetap sama: masih ngutang hehe…
Maafkan saya ya Om Jay ganteng, please!
Selasa, 02 Juni 2020
Sedikit demi Sedikit, Lama-lama Menjadi Bukit
Sedikit
demi Sedikit, Lama-lama Menjadi Bukit
Oleh : Dani
Makhyar, M. Pd.
Di tengah rintik air hujan malam,
saya tuliskan beberapa hal penting pertemuan pertama kuliah on line Belajar
Menulis Gelombang 12 Bersama Om Jay.
Menurut Om Jay –seorang guru
berprestasi dan inspiratif, penulis buku best seller, sekaligus blogger
ternama di tanah air--, menulis buku itu memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Oleh karena itu, beliau selalu menulis di blog setiap hari. Dengan menulis di
blog setiap hari, Om Jay bisa membuat buku. Beberapa buku karya Om Jay di
antaranya adalah Catatan Harian Seorang Blogger, Melejitkan Keterampilan
Menulis Siswa, Blogger Ternama, dan Menulislah Setiap Hari.
Berkat menulis Om Jay mendapatkan
pundi-pundi uang yang tidak sedikit, bisa menginap di hotel berbintang lima
secara gratis, naik pesawat gratis, bisa jalan-jalan ke Bali dan diundang
keliling Indonesia gratis, kuliah singkat di Cina gratis, bahkan hingga diajak
makan siang di Istana Negara bersama Presiden Jokowi. Ajaib kan? Benar kata Om
Jay, istilah “Sedikit demi Sedikit, Lama-lama Menjadi Bukit” memang terbukti.
Selain membaca dan menulis dijadikan
sebagai sebuah kebutuhan bagi seorang penulis, satu hal yang dapat saya garis
bawahi dari pengalaman menulis Om Jay adalah bahwa beliau tidak pernah berputus
asa dalam menerbitkan buku. Pengalaman beliau membuktikan bahwa ada buku Om Jay
yang akan diterbitkan di sebuah penerbit mayor yang prosesnya hingga selama
tiga tahun. Oleh karena itu, lanjut Om Jay, yang namanya kolaborasi dalam
proses penerbitan sebuah buku menjadi penting. Penulis tidak bisa bekerja
sendiri, tetapi butuh editor yang membantu menyajikan karya penulis menjadi
renyah dan enak dikonsumsi. Makanan kali yaaa... ?? Hehe…
Bogor, 1
Juni 2020